Minggu, 14 Maret 2010

Vaksin bukan penyebab autisme

By budi, okezone.com, Updated: 3/9/2010 10:04 AM

Sumber : http://news.id.msn.com/okezone/lifestyle/article.aspx?cp-documentid=3930985

Banyak orangtua yang masih beranggapan vaksin yang diberikan kepada anak-anak mereka dapat menyebabkan autisme. Padahal, hal itu sama sekali tidak benar. Imunisasi sepertinya sudah menjadi suatu keharusan di zaman sekarang.
BANYAK orangtua yang masih beranggapan vaksin yang diberikan kepada anak-anak mereka dapat menyebabkan autisme. Padahal, hal itu sama sekali tidak benar. Imunisasi sepertinya sudah menjadi suatu keharusan di zaman sekarang.
Munculnya berbagai penyakit membuat imunisasi penting untuk menjaga kekebalan tubuh dari serangan penyakit tertentu. Namun sayang, masih ada kekhawatiran sebagian orang bahwa vaksin yang diberikan justru bisa menyebabkan anak menderita autisme.
Tak hanya masyarakat Indonesia, di Amerika Serikat pun kekhawatiran tersebut juga ada. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa satu dari empat orang tua percaya beberapa vaksin menyebabkan autisme pada anak-anak yang sehat. Namun, mereka yang khawatir tersebut tidak mengelak bahwa anak-anaknya harus di vaksinasi.
Dari survei terhadap 1.552 orangtua, kebanyakan mereka tetap mengikuti anjuran dari dokter anak untuk tetap memvaksinasi buah hatinya. Pasalnya, penelitian terbaru soal itu tidak menemukan hubungan langsung antara autisme dan vaksin.
"Sembilan dari 10 orangtua percaya bahwa vaksinasi adalah cara terbaik untuk menangkal penyakit untuk anak-anak mereka," kata peneliti utama Dr Gary Freed dari University of Michigan.
"Untungnya, kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan anaknya terkena autis tidak lebih besar daripada keputusan untuk menyuntikkan vaksin, sehingga anak-anak mereka dapat dilindungi dari penyakit yang mengancam kehidupannya kelak," imbuhnya.
Pada 2008, anak-anak usia sekolah yang tidak divaksinasi menderita wabah campak di California, Illinois, Washington, Arizona, dan New York. Hal ini diungkapkan Dr Melinda Wharton dari US Centers for Disease Control and Prevention. Sekitar 13 persen dari 140 anak yang jatuh sakit pada tahun itu mendapatkan perawatan di rumah sakit.
"Beruntung semua anak sembuh," kata Wharton sambil menyebutkan bahwa campak juga dapat mematikan.
"Jika kita tidak vaksinasi mereka,penyakit ini akan datang kembali," lanjutnya.
Sementara itu, ketakutan vaksin mempunyai hubungan dengan autisme berasal dari sebuah studi spekulatif pada 1998, yang barubaru ini penelitian tersebut akhirnya dicabut kembali oleh jurnal kedokteran di Inggris.
Penarikan tersebut diambil segera setelah sebuah dewan yang mengatur regulasi dokter Inggris menuding bahwa penulis studi itu berlaku kurang jujur dan tidak etis.
Sementara itu, studi baru yang didasarkan pada survei di Universitas Michigan kepada orangtua ini dilakukan sekitar setahun yang lalu, jauh sebelum pencabutan studi pada 1998. Banyak juga penelitian lain yang gagal menemukan hubungan antara vaksin dan autisme.
Kelompok-kelompok advokasi besar seperti Autism Speaks, juga terus menyerukan orangtua untuk rutin memvaksinasi anakanak mereka.
"Sekarang ini sudah terbukti banyak orang yang melakukan penipuan secara terang-terangan. Mungkin hal itu akan meyakinkan banyak orangtua bahwa hal ini tidak boleh terjadi lagi," kata Freed seperti tertulis dalam rangkuman studinya yang dimuat untuk edisi April jurnal Pediatrics, yang dirilis Senin (1/3) lalu.
Beberapa dokter yang "kekeuh" menyatakan bahwa vaksin menyebabkan autisme meminta orangtua untuk mencari dokter lain sebagai pembanding dan menyebut mereka para orangtua sebagai "egois".
Sebuah pernyataan dari kelompok pakar di Philadelphia, Amerika Serikat menegaskan bahwa pemerintah harus mendukung program vaksinasi ini. Mereka yakin bahwa vaksin tidak menyebabkan autisme atau cacat pertumbuhan pada anak.
Justru dengan tidak divaksinasinya anak Anda, Anda menjadi egois karena mengambil keuntungan dari ribuan anak lain yang menjalankannya. Kami merasa sikap tersebut tidak bijaksana dan tidak bisa diterima. Disebutkan juga bahwa bagi dokter yang "benar-benar menolak" vaksin dapat menemui dokter lain untuk mendapatkan pelajaran.
"Kami menyebutnya manifesto," ujar Dr. Bradley Dyer dari All Star Pediatrics di Lionville, Pa, Amerika Serikat.
Puluhan dokter, ujar Dyer, telah diminta untuk menginformasikan pernyataan tersebut dan hanya segelintir orangtua yang telah mengambil anak-anak mereka di tempat lain.
"Para orangtua mengucapkan terima kasih karena telah mengatakan hal tersebut. Kita merasa lebih baik tentang hal itu," katanya.
Studi terbaru mengenai vaksin ini didasarkan pada survei secara online kepada orangtua yang memiliki anak berusia 17 tahun atau di bawahnya. Survei ini menggunakan sampel yang dipilih secara acak dari perwakilan partisipan secara nasional.
Setiap keluarga diberi fasilitas akses internet jika ada yang belum memilikinya. Hal ini untuk memastikan agar keluarga dari semua kalangan bisa masuk. Hasilnya, 25 persen orangtua setuju terhadap pernyataan bahwa "beberapa vaksin menyebabkan autisme pada anak-anak yang sehat".
Sekitar 29 persen para ibu setuju dengan pernyataan itu.Sementara para ayah, sekitar 17 persen Hampir 12 persen orangtua mengatakan akan menolak vaksin untuk anak-anak mereka jika dianjurkan dokter keluarganya. Sekitar 56 persen partisipan mengaku akan menolak vaksin yang relatif baru seperti vaksin pencegahan terhadap human papillomavirus (HPV) yang dapat menyebabkan kanker serviks.
Sedangkan yang lainnya akan menolak vaksin terhadap penyakit meningokokus (32%), cacar air (32%) dan measles- mumps-rubella atau MMR (18%). Orangtua yang menolak vaksin HPV,yang telah direkomendasikan kepada anak perempuan sejak 2006, mengemukakan berbagai macam alasan.
Sementara, orangtua yang menolak vaksin MMR, mengakui bahwa mereka telah banyak mendengar dan membaca bahwa penggunaan vaksin ini akan menimbulkan banyak risiko yang terlalu besar di antaranya menderita autisme pada anak.
Menurut Dr Gary S Marshall dari University of Louisville School of Medicine dan penulis buku saku dokter soal vaksinasi, hasil dari penemuan ini akan bermanfaat banyak untuk membantu dokter mengomunikasikan persoalan ini lebih intensif kepada orangtua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar