Senin, 26 April 2010

kasus

Michael Rosihan Yacub
Pernah mewakili Indonesia pada Special Olympic International di Dublin, Irlandia (2003), Michael Rosihan Yacub (19) ini terdeksi sebagai penyandang down syndrom saat ia berumur satu tahun.
IQ-nya memang di bawah 50, karena itu Michael mempunyai masalah dalam hal akademis dan komunikasi. Namun, ia mempunyai keunggulan dalam berolahraga. Karena itu, keluarganya memberi fasilitas dan motivasi yang kuat untuk menjadikannya atlet berprestasi seperti saat ini.
Perlu kerja keras. Awalnya, sang ibu merasa down, tidak bisa menerima keadaan anaknya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, sang ibu pun bisa menerima Michael dengan tulus dan penuh kasih. Bahkan, dari keberadaan Micahel inilah, sang ibu berinisiatif mendirikan ISDI, sebagai wadah para orangtua yang mempunyai anak down syndrom. Organisasi ini juga dijadikan sarana untuk menyosialisasikan keberadaan anak-anak down syndrom kepada masyarakat luas serta sarana untuk memotivasi para orangtua dalam mendidik anak-anaknya yang down syndrom.
“Saya yakin, Allah punya rencana indah dengan menitipkan Michael kepada saya,” tutur Bu Ariyanti, bunda Michel dengan bangga.
Bahrul Fuad
Keterbatasan fisik sejak kecil tidak membuatnya menyerah pada takdir. Hidup memang tak mudah bagi seorang penyandang difabel. Bachrul Fuad adalah seorang difabel dan menjabat sebagai koordinator Center on Difabel Community Development and Empowerment. Jabatan ini disandangnya sejak semester tiga di Universitas Darul Ulum Jombang. Bukan itu saja, Bachrul juga berhasil menyelesaikan pendidikan S2 di bidang Humanitarian Assistance di Universitas Gronigen Belanda. Selain itu, ia pun sering menjadi fasilitator dan motivator di beberapa seminar. Difabel telah “merubah” garis takdir Cak Fuad, begitu ia biasa disapa.
Bagi Bachrul, difabel adalah anugerah. Bagaimana tidak? Dalam kondisi seperti itu, ia bisa menyelesaikan kuliah S2-nya di Belanda. Meski memerlukan waktu cukup panjang.
“Saya sempat iri dan kecewa melihat adik saya yang normal,” tukas Cak Fuad. “Dalam hati saya, alangkah senangnya mereka bisa bermain sepeda, memanjat pohon dan lain sebagainya,” tambahnya. Bahkan, masih menurut laki-laki tegar ini, ia sempat pula merasa diperlakukan tidak adil oleh Allah.
“Mungkin kalau saya tidak difabel, saya tidak akan mendapatkan fasilitas semacam ini,” tuturnya tentang “hikmah” yang diterimanya ketika diundang Dewan Penyandang Cacat Indonesia ke Jakarta. Menumpang kereta api eksekutif, menginap di hotel berbintang lima dengan segala fasilitas yang “wah”. “Ternyata di balik semua ini, Allah punya maksud di luar pikiran saya.” Dan, sejak saat itu ia sering mendapat undangan berbagai pertemuan, kongres, ataupun seminar. Semua itu, barangkali tidak akan saya peroleh jika ia bukan penyandang difabel. Subhanallah!
“Keterbatasan diri saya adalah bagian integral dari identitas saya.”
“Difabel saya adalah identitas saya, sebagaimana warna kulit, bentuk rambut dan logat bahasa!” katanya tegas.
Saya, masih menurut Bachrul, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan saya. Menjadi seorang difabel adalah tugas sekaligus amanat hidup saya. Itulah hidup saya dan saya terima dengan rasa syukur dan ikhlas.
Bachrul Fuad merasa terlahir sebagai seorang difabel yang diberi kesempatan oleh Allah untuk dapat memahami persoalan difabel. Ia juga merasa berkewajiban untuk berbagi pengalaman dengan sesama penyandang difabel. Agar mereka bisa menerima dengan tulus dan terbuka atas kondisinya dengan rasa syukur. Dan, menatap hidup ini dengan jernih.
“Saya berharap semoga saya bisa mendorong masyarakat luas bisa menerima para penyandang difabel dalam kehidupan ini,“ katanya. Dengan demikian, tatanan inclusive society yaitu tatanan masyarakat yang saling menghargai dan menghormati perbedaan berdasarkan prinsip nilai Dignity (Kemartabatan), Equality (Kesetaraan), Pluralism (Keberagaman), dan Active Participation (Partisipasi Aktif) dapat terwujud di negeri ini.
Thomas Alva Edison
Ia adalah penemu yang sangat kesohor. Penemuan-penemuannya mampu meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Edison terkenal atas penemuan dan pengembangannya yang membuat dunia menjadi terang benderang di malam hari yaknibola lampu pijar listrik. Penemuannya yang spektakuler dan akrab dalam kehidupan kita adalah pesawat telepon.
Masa kecil Edison tak secemerlang penemuan-penemuannya. Edison kecil adalah siswa yang pernah diusir gurunya karena dianggap bodoh dan berkesulitan belajar. Semua itu karena Edison adalah anak kecil yang selalu ingin tahu dan sering mehgajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyulitkan gurunya. Untung, Nancy Edison, ibunda tercintanya tidak pernah menyerah, tanpa mengenal lelah mengambil peran guru, penuh kesabaran mengajarkan segala hal dan tak pernah memaksa suatu hal yang tak diminati anaknya. Edison mempelajari segala hal, kecuali yang tak diminati.
Dari sebuah buku – tentang seluk beluk berbagai percobaan – yang diberikan ibunya, Edison memratekkan isi buku tersebut di rumah dengan baik. Karena itu, sang bunda kemudian selalu menjejalkan buku-buku lebih banyak lagi. Itulah sebabnya Edison menjadi jatuh cinta dengan ilmu kimia. Dan, menghabiskan uang jajannya untuk membelanjakan bahan-bahan dan peralatan kimia untuk melakukan berbagai percobaan. Pada usia 10 tahun, Edison telah memiliki laboratorium di ruang bawah rumahnya.
“Kesalahan tak seharusnya dipandang sebagai kegagalan yang menghancurkan,” demikian ungkapan yang sering diucapkan. Baginya, setiap kesalahan merupakan rahmat untuk sebuah kesempatan belajar. Edison memperoleh pelajaran dari ayahnya. Ayahnya selalu bangkit dan mulai lagi. Karena itu, Edison belajar bahwa kegagalan itu positif dan tak pernah putus asa.
Stephen Hawking, Ahli Kosmologi
Ilmuwan dan pakar kosmologi ini menghabiskan umurnya dengan menggeluti berbagai penelitian. Hasilnya, ia merumuskan beberapa teori kosmologi, di antaranya adalah gagasan baru dan sensasional tentang Black Holes (Lubang Hitam), dan “teori tentang segala sesuatu,” serta asal-usul alam semesta.
Pada usia tiga puluh tujuh tahun, Hawking terpilih sebagai Lucasian professor of Mathematics di Cambridge. jabatan pretisius yang sebelumnya dipegang oleh Isaac Newton. Ia juga memperoleh penghargan Man of the Year dari Royal Association for Disability and Rehabilitation atas kampanye bagi orang-orang cacat.
Hawking pada usia 21 tahun terdeteksi sebagai penderita amyotrophic lateral scerosis (ALS) atau lebih dikenal penyakit Lou Gehrig yakni sebuah penyakit degeneratif progresif pada syaraf di tulang belakang dan otak. Sel-sel ini yang mengendalikan otot dan saat penyakit ini berkembang, otot-otot tubuh mengecil sehingga sang penderita tak bisa bergerak, bahkan untuk berbicara. Tubuh menjadi berada dalam keadaan vegetatif. Beruntung otak tetap jelas, jernih dan berfungsi sepenuhnya. Penyakit ini membawa kematian penderitanya beberapa tahun kemudian. Karena itu, penghargaan di atas menjadi sangat istimewa, karena yang menerima adalah Stephen Hawking, seorang penderita ALS.
Bila saja tak ada Jane, wanita yang selalu memotivasi Hawking yang kemudian menjadi istrinya, barangkali tesis Phd Hawking tak pernah usai. Karena, Hawking setelah mendengar diagnosa tentang dirinya menganggap hal tersebut adalah pekerjaan sia-sia. “Jane adalah perempuan yang menakjubkan bagi saya,” puji pakar kosmologi itu.
Ia beranjak dan kembali ke bangku kuliah dengan semangat tinggi. Hasilnya, ia menjadi ilmuwan dan pakar kosmologi abad ini. Penghargaan yang diperolehnya itu saat ia berusia 37 tahun, lima belas tahun semenjak Hawking divonis hanya hidup sampai dua tahun.
Apa yang diraih Hawking adalah suatu prestasi luar biasa. Dalam keterbatasan yang sangat parah, ia mampu merumuskan dan menciptakan teori-teori kosmologi yang sensasional.
Temple Grandin, si Autisme yang Bergelar Doktor
Penyandang autisme yang berhasil menyelesaikan program doktornya. Kisah hidupnya ditulis oleh Oliver Sacks. berjudul “An Anthropologist on Mars”. Buku yang berisi mengenai gambaran perasaan Grandin berada di antara orang-orang ‘neurotypical’. Grandin juga muncul dalam program-program televisi utama di Amerika Serikat, seperti ABC’s Primetime Live, the Today Show, dan Larry King Live. Grandin juga menulis artikel untuk majalah Time, People, Forbes, dan surat kabar New York Times. Dan, menjadi sorotan utama dalam program dokumenter Horizon berjudul “The Woman Who Thinks Like A Cow”, yang ditayangkan pertama kali oleh BBC, Juni 2006, dan dalam program Nick News pada musim semi 2006.
Lahir di Boston, Massachusetts, 29 Agustus 1947. Sebelum didiagnosa mengidap autisme (1950), Grandin diduga mengidap ‘kerusakan otak’ ketika berusia dua tahun. Oleh orangtuanya ia dimasukkan ke sebuah kelompok bermain yang guru-gurunya ia anggap sangat baik.
“Anak aneh” yang menjadi bahan ejekan dan lelucon teman-temannya. Orang-orang mengejeknya sebagai “tape recorder” karena selalu melakukan hal yang berulang-ulang. Untuk membantunya, Grandin mengonsumsi obat anti depresi secara teratur dan menggunakan “squeeze-box” (mesin peluk) yang diciptakannya pada usia 18 tahun sebagai bentuk terapi personal. Beberapa tahun kemudian, kondisinya dapat dikenali. Dan, pada usia dewasa ia didiagnosa menyandang Sindrom Asperger, yang merupakan salah satu spektrum Autisme.
Setelah tamat dari Hampshire Country School di Rindge, New Hampshire (1960), Grandin melanjutkan kuliah di Franklin Pierce College (1970). Dan, berhasil meraih gelar sarjana psikologi dan gelar master jurusan pengetahuan binatang dari Arizona State university (1975), dan gelar doktor atau PhD jurusan pengetahuan binatang dari University of Illinois di Urbana-Champaign (1989). Bagi seorang penyandang autisme, prestasinya itu tentulah sangat luar biasa.
Grandin – sebagai penyandang autisme — membantu memberikan konsultasi dalam mengenali gejala autisme sejak dini. Ia juga memberikan konsultasi kepada para guru agar dapat menanganani langsung anak-anak autisme dengan cara yang tepat. Grandin dianggap sebagai pemimpin filosofis bagi gerakan kesejahteraan binatang dan konsultasi autisme.
Kedua gerakan tersebut pada umumnya berhubungan dengan karya-karya tulisnya yang bertemakan kesejahteraan binatang, neurologi, dan filosofi. Tahun 2004, ia meraih penghargaan “Proggy” untuk kategori “Visionary” dari People for the Ethical Treatment of Animals. Karya-karya tulisnya mengenai autisme yang ditulisnya dari sudut pandang penyandang autisme, sangat membantu para ahli dan dunia kedokteran dalam membantu penanganan autisme. Karya-karyanya antara lain “Journal of Autism and Developmental Disorders” dan “Emergence: Labelled Autistic.”
Selalu ada Harapan
“Dalam setiap kekurangan, pasti ada kelebihan.” Begitu ungkap Habibie Afsyah dalam wawancaranya. Artinya, tidak selamanya anak-anak berkebutuhan khusus semacam Habibie selalu lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dan, salah besar bila ada orang meragukan kemampuan mereka untuk berprestasi.
Dengan kesabaran dalam menemukan bakat, dan minat pada diri mereka. Orang tua, guru, pendidik, para terapis, serta lingkungan masyrakat luas harus memberikan mereka kesempatan dan kepercayaan kepada mereka untuk membuktikan kemandirian dan prestasinya.
Mereka berhak mendapatkan pelayanan yang sama seperti anak-anak yang lain seperti, pelayanan pendidikan yang ramah, kesempatan bersaing, serta fasilitas-fasilitas yang memadai untuk tumbuh kembang sang anak.
“Anak Berkebutuhan Khusus bukanlah puntung-puntung rokok ditimbunan sampah, melainkan permata-permata yang elok nan indah warnanya”.

sumber : http://anakspesial.blogdetik.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar