Senin, 26 April 2010

Perubahan dalam Struktur Sosial dan Orientasi Nilai beserta Dampaknya pada Keluarga dan Anak

Dalam hal nilai dan orientasi keagamaan, masyarakat Nordik relatif homogen hingga setelah Perang Dunia II. Keyakinan, Etika moral dan etika Kristen secara umum diterima sebagai fondasi nilai oleh sebagian besar orang. Namun, periode paska perang membawa eksposur yang lebih besar ke komunitas internasional. Kerjasama internasional menjadi terinstitusi melalui PBB dan sejumlah forum internasional lainnya. Perkembangan televisi akhirnya membawa kehidupan sehari-hari masyarakat dunia ke dalam ruang keluarga setiap orang. Kebudayaan lain, pandangan dunia dan agama lain terus direpresentasikan juga di Negara-negara Nordik. Imigrasi yang meningkat merupakan kontribusi terhadap keragaman yang lebih besar. Agama Kristen dan pandangan dunia masih dominan – di Norwegia dianut oleh lebih dari 30% populasinya (MMI 1999), tetapi keragaman yang baru dan dinamis dari agama-agama dan pandangan dunia juga muncul di Skandinavia.

Lebih dari faktor-faktor lain, proses industrialisasi membentuk perkembangan masyarakat Skandinavia paska perang. Pada akhirnya ini mengarah pada pertumbuhan dan konsumsi material yang meningkat, dan perhatian pada kesejahteraan material. Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan industri hiburan mulai menembus masyarakat – menyita perhatian orang, semakin banyak mengambil waktu luang mereka, dan ini berdampak sangat besar pada kepercayaan, sikap dan perasaan mereka. Contoh relevan dari penelitian dalam bidang ini adalah sebuah studi yang menggambarkan secara jelas pengaruh negatif dari hiburan yang berisi kekerasan pada anak dan remaja (Berkowitz, 1993; Sinnets Helse (Majalah Kesehatan Mental) 1996).

Perkembangan negara kesejahteraan di Negara-negara Nordik telah mengarah kepada standar hidup yang tinggi yang berimplikasi bahwa hampir tidak ada orang yang berkesulitan materi. Perkembangan kesejahteraan sosial yang luar biasa ini, bagi banyak orang, telah mengarah kepada orientasi materialistis yang kuat. Bagi banyak orang, aspirasi kekayaan materi ini tampaknya merupakan upaya untuk mengkompensasikan kekurangan keberartian mereka dalam aspek hidup lainnya. Namun sekarang ini terdapat lebih banyak orang yang berupaya mencari arti dan arah baru dalam hidupnya meskipun kehidupan materinya sudah nyaman.

Perubahan Keluarga dalam Negara Kesejahteraan
Sebuah konsekuensi penting dari industrialisasi paska perang adalah kebutuhan akan buruh. Bagi wanita, ini memberikan kesempatan baru untuk pekerjaan yang menghasilkan pendapatan di luar rumah. Di samping kesempatan yang lebih baik untuk pendidikan, penerimaan masyarakat terhadap kemandirian wanita dalam pekerjaan serta adanya konsep realisasi diri, telah mengakibatkan perubahan di dalam masyarakat yang mendorong banyak wanita untuk mencari pekerjaan di luar rumah. Kini sebagian besar wanita mempunyai pekerjaan yang mandiri. Perkembangan ini telah mengarah pada perubahan peran dan pembagian pekerjaan dalam keluarga. Kini lebih lumrah bagi pria dan wanita untuk berbagi dalam tugas-tugas mengasuh dan memelihara anak di rumah. Kesetaraan gender dan realisasi diri telah menjadi tujuan terintegrasi dari perkembangan sosial, kemitraan dan kehidupan keluarga.

Dalam masyarakat paska industri di mana kekuasaan modal internasional hampir tidak dapat dihalang-halangi untuk membeli atau menjual tempat kerja, dan di mana terdapat tuntutan yang lebih besar akan pengetahuan spesialisasi, fleksibilitas dan mobilitas menjadi kata kunci dunia kerja.

Di lain pihak, hal ini mengakibatkan keluarga dituntut untuk menyesuaikan kebutuhannya. Unit keluarga menjadi lebih kecil; keluarga kecil dengan dua orang anak telah menjadi norma standar. Keluarga besar telah hilang di dekade pertama setelah Perang Dunia II. Bahkan, keluarga dengan satu orang tua – sering kali seorang ibu dengan satu atau dua anak - menjadi hal yang umum seperti halnya keluarga kecil. Frekuensi perceraian keluarga yang meningkat telah mengakibatkan banyak anak mengalami hubungan dan kehidupan rumah yang tidak stabil. Keinginan untuk terus memperbaiki standar hidup, tuntutan untuk penampilan yang meningkat, dan efektifitas di dunia kerja, karir professional, dan keinginan untuk menjadi orang tua dan mempunyai anak-anak yang sukses merupakan salah satu sumber penyebab stres yang signifikan, yang banyak orang tidak dapat mengatasinya secara efektif. Cita-cita untuk mempunyai “keluarga bahagia” sulit untuk direalisasikan. Sejalan dengan semakin besarnya penerimaan masyarakat terhadap keluarga yang “pecah”, hal di atas mungkin merupakan faktor lain yang mengakibatkan perpecahan keluarga yang sering kita saksikan sekarang ini. Di samping itu, banyak anak dan remaja yang tidak sanggup memenuhi tuntutan untuk menyesuaikan diri dan berkinerja di dalam masyarakat yang semakin keras ini. Tuntutan untuk persaingan dan kesuksesan akan selalu berpihak kepada yang terkuat, yang akan mengakibatkan banyak orang jatuh keluar jalur dan merasa gagal dan tidak berarti. Suatu hal yang wajar untuk meyakini bahwa ini mungkin sebuah faktor penyebab peningkatan penyalahgunaan obat-obatan yang kita lihat sekarang, sebuah perkembangan yang sejalan dengan peningkatan signifikan sejumlah anak anak dan remaja dengan masalah emosional yang serius di negara-negara barat (Kementerian Sosial dan Kesehatan Norwegia, 2000).


sumber: http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/Membantu_Anak_dan_Keluarga_yang_Berkebutuhan_Khusus.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar