Senin, 26 April 2010

Tonggak Bersejarah dalam Konsepsi Kita tentang Perkembangan dan Pembelajaran Anak

Hingga tahun 1950-an, konsepsi mengenai bagaimana anak belajar ditandai dengan persepsi bahwa anak-anak adalah penerima informasi yang pasif dari dunia di sekitarnya. Mereka dianggap sebagai “papan tulis yang kosong” yang melalui pengalaman akan diisi dengan kesan-kesan dan kemudian belajar mengenai dunia sekitarnya dan hubungannya dengan dunia itu. Pada akhirnya anak-anak akan dapat membawa pengetahuannya dan menggunakannya untuk memecahkan masalah dan mengadaptasikannya pada lingkungannya.

Tentu saja beberapa ahli teori menganggap bahwa belajar dengan “trial and error” dan belajar dengan wawasan merupakan aktivitas kognitif yang dapat dimulai oleh anak itu sendiri, tetapi proses belajar itu dianggap sangat pasif dalam kaitannya dengan peran anak dalam pembelajarannya sendiri.
Namun pada tahun 1950 dan 1960-an konsep baru muncul. Suara-suara baru termasuk Jean Piaget (1952) dan Maria Montessorie (1968), yang berkontribusi pada revolusi dalam pemahaman tentang perkembangan kognitif anak. Dalam konsepsi baru tentang pembelajaran anak mengenai dunia di sekitarnya ini, anak-anak dianggap secara aktif memahami, mengatur, memilih dan memproses pengalamannya dengan lingkungan sekitarnya.

Anak kecil:

* Memahami secara aktif
* Mengatur secara aktif
* Memilih secara aktif
* Memproses secara aktif
* Mengeksplorasi hubungan mereka dengan lingkungannya secara aktif
* Mengawali interaksi dengan orang lain secara aktif
* Merupakan mitra manusia yang setara.

Yang tidak kalah penting adalah pengakuan bahwa anak secara aktif mengawali dan mengeksplorasi hubungannya dengan lingkungannya. Setelah perkembangan ini, anak-anak tidak lagi dilihat sebagai “penerima pasif” yang diisi dengan pengalaman, tetapi sebagai mitra kerja sama yang berinisiatif, yang dalam proses belajar harus dilihat sebagai mitra manusia yang setara.

Tetapi eksperimentasi anak dengan dunia materi masih diberikan penekanan terbesar, sedangkan perkembangan sosialnya cenderung diabaikan – pada akhirnya akan datang bila mereka tumbuh besar dan belajar untuk menguasai hubungannya dengan lingkungannya.
Studi empiris modern terhadap bayi baru dilakukan sejak tahun 1970-an dan 1980-an. Hasil dari studi ini lebih lanjut mengubah pemahaman perkembangan dan bakat anak. Pertama dan yang paling utama, kita mengetahui bahwa anak-anak adalah mahluk sosial yang alami. Anak-anak – sebagaimana digambarkan oleh Piaget – bersifat egosentris dan individualistis tanpa kemampuan untuk memahami dan merespon perasaan, kebutuhan dan keinginan orang lain. Menurut pandangan Piaget, anak-anak hanya secara lambat disosialisasikan setelah mereka meresap dunia luar dan dunia nyata. Dia juga menekankan bahwa anak belajar terutama melalui pengalaman langsung dengan dunia nyata dan melalui aktivitas eksplorasinya sendiri. Perkembangan psiko-sosial pada anak cenderung diabaikan.

Ringkasan tentang konseptualisasi anak dan perkembangan dininya yang muncul dalam hasil penelitian tentang bayi modern mengungkapkan dua perspektif utama:

* Anak-anak sejak lahir dipandang sebagai mahluk sosial dan dilahirkan dengan potensi untuk mengembangkan interaksi sosial dan mengorganisasikan kesan-kesan dan hasil belajar yang kompleks, suatu persyaratan untuk bertahan hidup dan berkembang dalam konteks sosial.
* Anak-anak, pada tahap awal masa kanak-kanak, belajar terutama melalui interaksi dengan para pengasuhnya, dan para pengasuh inilah, terutama pada tahun-tahun pertama pertumbuhan, menjadi komunikator dan pembimbing anak yang paling penting dalam proses belajar.

Sekarang ini terdapat literatur yang ekstensif yang mendokumentasikan bahwa anak adalah manusia sosial yang interaktif sejak lahir. Dasar pemikiran untuk menciptakan ikatan sosial dan mengembangkan kontak yang bermakna ini tidak hanya penting untuk mendapatkan asuhan yang diperlukannya, tetapi juga merupakan prasyarat bagi kemampuan anak untuk belajar dan berkembang. Dasar pemikiran inilah yang harus diperhatikan oleh orang tua dan para pengasuh anak agar dapat meningkatkan kesejahteraan anak dan pembelajarannya. Kapasitas sosial ini merupakan “jembatan” yang harus dilalui oleh komunikasi antara pengalaman dengan proses belajar.

Ikatan Kasih Sayang, Komunikasi dan Pembelajaran Termediasi: Sebuah Perspektif Holistik tentang Pengasuhan, Perkembangan dan Pembelajaran
Ikatan kasih sayang, sebagai satu istilah yang terkait dengan kontak, berasal dari teori kasih sayang (attachment) dari John Bowlby (Bowlby 1969, 1988). Antara lain, ini mengacu pada “perilaku kasih sayang” pada bayi dalam bentuk kontak mata, senyuman, tangisan, peniruan dan gerakan sebagai sebuah dasar yang penting untuk menstimulasi perilaku asuh dari orang tua dan menciptakan sebuah ikatan emosional satu sama lain.

Tampak jelas bahwa anak-anak cenderung untuk membangun hubungan psikososial dengan orang tuanya sejak lahir. Kecenderungan pada anak ini diekspresikan dalam pola perilakunya, yang disebutkan oleh Bowlby sebagai “perilaku kasih sayang”, sebagaimana dijelaskan di atas. Sebuah aspek penting dari kasih sayang dari anak, kalau ingin dibina, adalah hubungan positif dengan pengasuhnya. Pengasuh harus seseorang yang berkarakter lembut, hangat dan memberikan rasa aman – sebuah perasaan yang sering kita gambarkan sebagai cinta. Oleh karena itu, pengalaman ini terkait dengan interaksi sensitif. Perasaan cinta dikembangkan sebagai sebuah aspek penting dari pengalaman dengan orang tua, yang merupakan dasar bagi ikatan cinta antara orang tua dan anak. Perasaan cinta harus dianggap sebagai aspek penting dari ikatan kasih sayang yang kokoh.

Di antara ekspresi emosional yang pertama dapat dikenali pada bayi adalah menangis dan gerakan kegelisahan sebagai ekspresi ketidaknyamanan, serta bermacam-macam isyarat suara, kontak mata, dan akhirnya senyum sebagai ekspresi senang. Sejumlah nuansa dan ekspresi lainnya muncul pada bulan-bulan pertama, terkait dengan stabilitas dan kematangan fisik serta pengalaman kontak dan interaksi dengan sesama manusia. Akhirnya ini menjadi sebuah fondasi untuk cara mengekspresikan perasaan yang mendampingi pengalaman yang lebih kompleks lagi dengan orang tua dan pengasuh. Prakondisi biologis yang digabungkan dengan pengalaman yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan sekitar, yang sudah terjadi pada tahun pertama kehidupan, menciptakan pola dasar untuk kontak dan interaksi.
Dasar yang sangat penting untuk terciptanya perkembangan hubungan sosial dini tampaknya adalah pengalaman saling mencintai dan rasa aman. Tampaknya perasaan positif ini, atau ikatan cinta, yang membuat ikatan kasih sayang orang tua-anak berlangsung seumur hidup.

Jika kita menggambarkan “perilaku ikatan kasih sayang” hanya sebagai sebuah sistem biologis untuk menjamin perlakuan dan kelangsungan hidup, maka akan lebih mudah untuk mengabaikan perasaan positif yang menyertai interaksi yang bermakna ini, yang merupakan kekuatan yang mendorong ikatan kasih sayang. Meskipun kini terdapat kesepakatan umum bahwa perkembangan ikatan kasih sayang itu didasarkan atas kecenderungan biologis pada anak maupun orang tua, tetapi masih banyak dari fenomena ini yang belum dapat dijelaskan. Tampaknya terdapat perasaan keterikatan psikobiologis yang bersifat alami, khususnya antara anak dan ibu, dan sudah ditunjukkan pada bulan-bulan pertama kehidupan bayi. Sebuah contoh ikatan psikobiologis ini dapat ditemukan dalam pengalaman dengan menggunakan “metode kangguru” bagi anak-anak yang terlahir dengan berat badan yang rendah. Anak-anak dengan berat badan rendah mudah kehilangan kehangatan tubuh karena mereka mempunyai bidang permukaan kulit yang relatif luas dibanding berat badannya. Bila anak ini dipangku oleh ibunya dan diletakkan pada payudara di bawah baju ibunya, dapat diamati bahwa terdapat sinkronisasi antara temperatur tubuh anak dan ibu. Pada poin ini, temperatur ibu turun sampai mencapai level normal (Luddington-Hoe, Hadded & Anderso 1989, dikutip dalam Anderson 1995). Contoh sinkronisasi biologis ini menggambarkan hubungan yang sangat intim yang secara potensial terjadi antara ibu dan anak sejak awal.

Hakikat sosial dan biologis anak ini juga mencakup kecenderungan bayi untuk menerima suara manusia, bentuk wajah, dan gerakan manusia. Kita dapat melihat “ikatan kasih sayang” sebagai sebuah manifestasi dari sebuah “sistem perilaku” yang menurut perspektif biologis memberikan jaminan yang sebesar-besarnya bagi kelangsungan hidup. Tetapi ikatan kasih sayang juga berarti adaptasi terhadap situasi sosial pengasuhan di mana anak dapat memperoleh perhatian orang tua, melibatkan mereka secara emosional dan mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginannya kepada mereka. Prasyarat untuk mengembangkan ikatan kasih sayang dan komunikasi biasanya sudah ada pada diri anak sejak lahir.

Pentingnya Kontak dan Sentuhan Kulit dalam Perkembangan Anak
Bowlby meneliti efek deprivasi sosial dalam perkembangan anak, dan mendapat inspirasi antara lain dari penelitian Harri Harlow mengenai efek deprivasi sosial dalam perkembangan monyet (Harlow, H.F. 1958; Harlow, H.F. & Halow, M.K. 1962). Beberapa temuan penting dalam penelitian Halow mencakup sangat pentingnya kontak fisik bagi perkembangan psikososial monyet. Penelitian mutakhir tentang kontak fisik dan tanda-tanda kasih sayang dalam perkembangan anak telah dengan jelas menunjukkan bahwa hal itu merupakan prasyarat fundamental untuk ikatan kasih sayang, pertumbuhan dan perkembangan fisik. Sentuhan fisik secara sistematis dapat mempunyai efek menenangkan yang tinggi pada anak. Sentuhan dan tanda kasih sayang dapat merubah kegelisahan dan kurangnya konsentrasi menjadi kesigapan, perhatian dan fungsi mental yang lebih fokus yang menciptakan peluang untuk interaksi dan belajar.

Kontak dan sentuhan pada kulit tampaknya terkait dengan perasaan memiliki dan rasa aman, dan dapat mengkomunikasikan perasaan positif, misalnya melalui sentuhan halus atau belaian pada tubuh, sedangkan cubitan, pukulan dan menggelitik yang tidak menyenangkan menandakan perasaan dan sikap negatif atau agresif yang mengancam rasa aman si anak. Jadi, kontak dan sentuhan kulit tampaknya merupakan pengalaman hubungan intim yang fundamental, yang bersama-sama dengan kontak mata dan suara membentuk fondasi biologis dan psikososial untuk perkembangan ikatan kasih sayang. Penelitian menunjukkan bahwa kontak dan sentuhan kulit terkait erat dengan pengalaman kontak emosional dan mempunyai efek menenangkan yang sangat positif bagi anak kecil (Tronik 1995; Anderson 1991, 1995). Pendekatan terhadap kontak ini tampaknya kurang dipergunakan dalam pekerjaan kita dengan anak yang berkebutuhan khusus di bagian dunia kita ini. Namun di negara-negara Afrika dan di Timur pemijatan bayi merupakan hal yang umum dilakukan dalam perlakuan rutin sehari-hari bagi anak. Umumnya, bayi dipijat dengan minyak setiap hari setelah mandi sebelum tidur khusus pada tahun-tahun pertama kehidupan bayi. Di negara-negara barat, pemijatan bayi merupakan temuan dan masalah penelitian baru. Akhir-akhir ini sejumlah institusi di Amerika serikat mengajari orang tua untuk melakukan pemijatan terhadap bayinya.

Efek positif pemijatan bayi antara lain adalah sebagai berikut:

* Meningkatkan ikatan antara pengasuh dan anak dengan menjalin hubungan positif dan hangat;
* Mengurangi stres akibat pengalaman yang tidak menyenangkan dan menyakitkan misalnya pada saat vaksinasi;
* Mengurangi rasa sakit akibat pertumbuhan gigi atau masalah pencernaan;
* Mengurangi rasa sakit pada saat mulas perut;
* Menenangkan anak sebelum tidur;
* Memberikan perasaan senang bagi orang tua dengan melakukan
* sesuatu yang disenangi anak.

Anak-anak yang berkebutuhan khusus – misalnya anak-anak tunanetra dan tunarungu, anak-anak cerebral palsy dan anak-anak yang rendah berat badannya bila lahir atau prematur – juga dilaporkan mendapatkan manfaat dari pijat ini. Kontak dan sentuhan kulit tetap merupakan sebuah cara yang penting untuk mengkomunikasikan kedekatan, keintiman, rasa aman, cinta dan sayang bagi kebanyakan orang dan merupakan sebuah aspek penting dari komunikasi kita. Anak-anak yang kurang beruntung, misalnya mereka yang tinggal di panti asuhan tradisional dan sekolah berasrama, seringkali menderita kekurangan kontak manusia yang fundamental, khususnya kurangnya kedekatan fisik dan sentuhan.

Namun kurangnya kontak dan sentuhan ini dapat ditemukan pula pada orang dewasa yang tinggal sendiri, misalnya para lansia di panti wreda di mana para stafnya hanya mempunyai sedikit pemahaman tentang kebutuhan akan kontak dalam bentuk sentuhan fisik atau mempunyai sedikit waktu untuk menerapkan pemahamannya. Kini wawasan ini sudah didokumentasikan secara baik dan menciptakan sebuah dasar pemikiran empiris bagi efek positif pemijatan bayi” (Field, 1995; Rye 1993).

Berdasarkan pentingnya sentuhan fisik dan tanda-tanda kasih sayang itu, maka ada alasan untuk memandang jenis kedekatan ini sebagai kualitas fundamental dalam perkembangan ikatan kasih sayang dan merupakan pengalaman yang sangat penting pada perkembangan awal komunikasi. Pentingnya ikatan kasih sayang yang kokoh bagi perkembangan mental anak serta fungsi sosial dan pembelajarannya didokumentasikan dalam beberapa penelitian termasuk Ainsworth, et al. (1971: 1978). Penelitian Ainsworth didasarkan atas teori ikatan kasih sayang dari Bowlby.

Komunikasi
Komunikasi sebagai sebuah konsep dan perkembangan komunikasi antara anak dan orang tua telah menjadi sangat penting dalam penelitian empiris tentang bayi dan anak kecil selama 25 tahun terakhir ini. Sejumlah peneliti telah menggambarkan komunikasi awal ibu-anak dalam bentuk saling bersuara, saling meniru suara atau gerakan, di mana ibu dan anak berpartisipasi dengan cara yang bervariasi. Juga kemampuan bayi untuk berkomunikasi dan meniru ekspresi perasaan digambarkan secara rinci (Bateson 1975; Newson 1979).

Komunikasi emosional dan saling beradaptasi serta keteraturan interaksi yang terjadi antara pengasuh dan anak (Stern 1985, 1996; Trewarthen 1984, 1988) dalam perkembangan anak sebagai seorang makhluk sosial merupakan fondasi bagi semua perkembangan mental (Bruner 1975, 1990; Vygotsky 1978). Jerome Bruner menggambarkan bahwa pada diri anak terjadi “transactional self” dengan akses yang intuitif dan bebas terhadap kesadaran subjektif orang lain. Ini merupakan pencarian alami atas kesamaan konsepsi yang dia sebut “the biology of meaning”, yang merupakan prasyarat untuk mengembangkan sebuah lingkungan yang memiliki kesamaan pengertian dan tindakan.

Pemahaman tentang kebutuhan psikososial anak dan dasar-dasar untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dapat diringkas ke dalam poin-poin kunci berikut ini:

* Anak harus dipersepsi sebagai seseorang dengan kualitas-kualitas individu yang memiliki kebutuhan, keinginan, temperamen, kepribadian dan keterampilan. Cara para pengasuh melihat dan memahami anak menentukan bagaimana mereka dapat memenuhi, menerima dan memberikan pengakuan kepada anak dan memenuhi kebutuhan fisik dan psikososialnya.
* Pengasuh harus dapat mengidentifikasi anak dan memahami kebutuhan anak dan keadaan emosinya secara mendalam. Kemampuan untuk memahami dan mengaitkan diri dengan situasi anak menentukan bagaimana para pengasuh dapat memenuhi kebutuhan anak dan memahami hakikat individu anak.
* Bentuk komunikasi yang sederhana telah terbentuk sejak anak baru lahir.
* Bentuk komunikasi tersebut dimulai dengan pengasuh mencoba memahami keinginan anak atau memperhatikan reaksinya yang dapat dipahami sebagai kebutuhan atau keinginan yang dapat ditanggapi dan diperhatikan oleh pengasuh. Akhirnya bentuk komunikasi sederhana ini berkembang menjadi sebuah interaksi kompleks yang meningkat, yang sering digambarkan sebagai sebuah spiral (Rye 1993).
* Kemampuan berkomunikasi ini tetap merupakan sebuah prasyarat pembelajaran dan perkembangan manusia yang bermakna dan memegang peran kunci selama masa hidup anak (Hundeide 1996; Rye 1996).
Anak sebagai seorang pelaku aktif dalam perkembangan pengalaman dan belajarnya sendiri pertama kali digambarkan secara sistematis dalam karya Lev Vygotsky tahun 1920-an dan 1930-an. Vygotsky menekankan interaksi antara anak dan orang tua dan konteks budaya untuk perkembangan kemampuan mental anak dan penguasaan lingkungannya. Ini merupakan dasar bagi perkembangan konsep abstrak dan bahasa (Kozulin 1998). Cara berpikir seperti ini lebih lanjut dikembangkan dan menjadi sumber perspektif sosio-ekologis bagi Bronfenbrenner tentang perkembangan anak (Bronfenbrenner 1979). Namun, karya Vygotsky ini tidak dikenal secara luas di barat sebelum tahun 1970-80-an.

Anak sebagai seorang pelaku aktif dalam perkembangan pengalaman dan belajarnya sendiri pertama kali digambarkan secara sistematis dalam karya Lev Vygotsky tahun 1920-an dan 1930-an. Vygotsky menekankan interaksi antara anak dan orang tua dan konteks budaya untuk perkembangan kemampuan mental anak dan penguasaan lingkungannya. Ini merupakan dasar bagi perkembangan konsep abstrak dan bahasa (Kozulin 1998). Cara berpikir seperti ini lebih lanjut dikembangkan dan menjadi sumber perspektif sosio-ekologis bagi Bronfenbrenner tentang perkembangan anak (Bronfenbrenner 1979). Namun, karya Vygotsky ini tidak dikenal secara luas di barat sebelum tahun 1970-80-an.

Pembelajaran Termediasi [Mediated Learning]
Pembelajaran termediasi sebagai sebuah konsep psikologis dalam konteks ini didasarkan atas teori Mediated Learning Experience dari Reuven Feuerstein (Feuerstein et al. 1991). Namun, dalam hubungannya dengan perkembangan bayi dan anak, ini terutama dikaitkan dengan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Pnina Klein tentang program MISC [More Intelligent, Sensitif Child = Anak yang Lebih Cerdas dan Lebih Peka], yaitu sebuah program untuk intervensi psikososial dini (Rye 1993). Penjelasan Pnina Klein dan eksplorasi empiris tentang pentingnya mutu mediasi dalam teori Feuerstein, menekankan pentingnya peran pengasuh sebagai pembimbing, guru dan mitra yang mendukung anak dalam rangka membangun rasa harga diri dan kemampuan untuk belajar, merasakan atau mengalami, dan menguasai lingkungan sekitar secara bertahap.

Sementara titik tolak teori Feuerstein dan penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Klein adalah pentingnya mutu mediasi bagi perkembangan kognitif, namun penelitian paling akhir menunjukkan bahwa hubungan interaksi di mana terdapat mediasi yang bermutu, juga melibatkan dan memegang peran besar dalam mengembangkan komunikasi emosional dan ikatan kasih sayang (Klein 1992). Ini juga sejalan dengan pendapat Bruner (1990), yang berargumen bahwa integrasi dan modulasi afeksi dalam interaksi merupakan prasyarat untuk mengembangkan hubungan yang bermakna dan fungsi mental yang terkait dengan interaksi dan bahasa.
Ketiga penjelasan teoritis dan empiris tentang ikatan kasih sayang, komunikasi dan pembelajaran termediasi dalam interaksi antara pengasuh dan anak memberikan kerangka pendekatan holistik terhadap tindakan pencegahan dan intervensi dini maupun intervensi lanjutan untuk meningkatkan fungsi dan perkembangan anak.

Mengapa memerlukan waktu yang begitu lama untuk mengembangkan praktek berorientasi sumber yang modern itu?
Walaupun pada tahun 1970-an telah ada wawasan baru tentang pentingnya hubungan antara pengasuh dan anak, tetapi masih banyak masalah yang belum terjawab:

* Belum jelas kualitas-kualitas apa dalam interaksi antara pengasuh dan anak yang paling penting.
* Masih sedikit kesadaran mengenai pentingnya perubahan dalam kualitas interaksi antara anak-pengasuh dan bahwa perubahan tersebut harus
* Berdasarkan pada dasar pemikiran pengasuh sendiri dan dimulai dari sana.
* Penelitian yang didasarkan atas kegiatan orang tua dalam mengajar anaknya hingga tahun 1980-an pada umumnya diabaikan dan hampir tidak ada.
* Pada tahun 1970-an, fokusnya adalah pada “stimulasi”, yang mencerminkan pemikiran bahwa anak membutuhkan pengalaman untuk perkembangan mentalnya, misalnya untuk perkembangan kecerdasan dan bahasanya.
* Namun masih belum ada kesadaran akan pentingnya kualitas interaksi sosial tertentu yang kemudian digambarkan sebagai dasar untuk pembelajaran dini anak.
* Beberapa contoh kesimpulan dari tahun 1970-1980an yang diperluas di dalam penelitian tentang interaksi berikutnya:
* Cara ibu mengajari anaknya mempunyai pengaruh lebih besar pada perkembangan mental anak dari pada IQ ibu dan status sosial ekonominya (Hess & Shipman 1968).
* Keterlibatan dan minat ibu dalam mengajar anaknya sangat penting bagi perkembangan mental anak (Carew 1980).
* Keterlibatan dan sikap responsif ibu merupakan salah satu variabel eksogen terpenting yang terkait dengan perkembangan intelektual (Gottfried 1984).
* Ekspektasi ibu dan hubungan antara cara ibu dan anak berinteraksi (contingency) berdampak besar pada adaptasi dan perkembangan anak (Collins 1984).

Namun, merupakan masalah besar bahwa konsep-konsep yang dijelaskan di atas jarang dioperasionalkan atau dikonkretkan; konsep-konsep tersebut bersifat umum dan penjelasannya relatif abstrak sehingga sulit untuk dipraktekkan. Sejumlah program intervensi dini diselenggarakan pada tahun 1970-an, termasuk program Portage di Wisconsin. Kebanyakan dari program intervensi “generasi pertama” bersifat instruktif dalam pendekatannya yang berimplikasi bahwa para pengasuh diberikan instruksi mengenai bagaimana mereka harus berhubungan dengan anak-anak.

Walaupun hasil positif dilaporkan dari program “generasi pertama” itu, sejumlah keluhan pada akhirnya dijelaskan:

* Para pengasuh dirasakan tidak memenuhi syarat dan kurang memiliki kemampuan, yang berarti mereka harus belajar hal lain dan cara baru untuk berhubungan dengan anak.
* Sebagian menyatakan bahwa menggunakan jenis materi tertentu pada waktu tertentu terasa aneh.
* Keluhan yang lain adalah mudahnya menjadi tergantung kepada instruksi dan materi. Cara baru untuk berhubungan tidak diintegrasikan ke dalam karakter setiap orang (Lombard 1981)

Pada tahun 1970-80an hasilnya mulai muncul dari berbagai program intervensi berdasarkan jenis program pra-sekolah yang berbeda, termasuk program Head Start yang memberikan hasil yang positif selama masih ada intervensi. Namun efek yang dapat dibuktikan melemah setelah programnya dihentikan. Pengalaman dari tahun 1980-an menunjukkan bahwa program intervensi berorientasi keluarga adalah yang paling menjanjikan bagi anak-anak dan keluarga yang berkebutuhan khusus (Shonkoff & Meisels 1990; Gallagher 1990).

Program intervensi generasi kedua
Program intervensi dini yang baru – program “generasi kedua” – muncul pada tahun 1980-an. Program tersebut didasarkan atas penelitian mutakhir tentang bayi, khususnya hasil penelitian tentang perkembangan emosi dan komunikasi anak (penulisnya termasuk Stern, Trewarthen, Tronick, Papouseko), dan pendekatan berorientasi mediasi (misalnya Vygotsky, Feuerstein, Klein). Program yang paling terkenal dari tradisi ini adalah program ORION (Marte Meo) dari Belanda dan Program anak yang lebih cerdas dan sensitif [MISC=More Inteligent and Sensitif Child] dari Israel.

Program-program ini sangat khusus karena:

* Dibangun atas dasar deskripsi spesifik dan bernuansa kualitas interaksi yang penting dalam penelitian bayi dan anak, dan
* Bertitik tolak dari situasi sehari-hari yang relevan dan pengalaman interaksi para pengasuhnya.

Beberapa kesimpulan utama dari penelitian dan pengalaman klinis dengan program ini:

* Lingkungan rumah sangat penting bagi pembelajaran dan penyesuaian di sekolah bagi anak-anak kecil.
* Pola interaksi psikososial dapat dipengaruhi melalui pengalaman sosial sejak lahir.
* Sejak usia dua tahun, kognitif anak dan fungsi sosialnya secara sistematis berhubungan dengan fungsi kognitif dan perkembangan sosialnya pada usia sekolahnya.
* Penelitian menunjukkan bahwa intervensi berorientasi mediasi, yang didasarkan atas prinsip pengalaman pembelajaran termediasi, mempunyai efek jangka panjang pada perkembangan emosional dan kognitif.
* Penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang berorientasi komunikasi mempunyai efek positif yang bertahan lama pada interaksi orang tua-anak.
* Intervensi dini pada interaksi orang tua-anak telah menunjukkan efek positif pada perkembangan anak, termasuk pada anak-anak yang mempunyai masalah biologis, seperti:
* Mul> berat badan rendah pada waktu lahir
* gangguan motorik
* keterbelakangan mental


sumber :http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/Membantu_Anak_dan_Keluarga_yang_Berkebutuhan_Khusus.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar