Senin, 26 April 2010

Yang Spesial Yang Berprestasi

Posted by anakspesial, Published on 27 Maret 2009

Kiamat, shock, down, kaget, tak bisa menerima bahkan masih banyak lagi, sampai-sampai ada yang merasa bahwa Tuhan tak adil. Itulah perasaan sebagian besar orang tua ketika mengetahui anak-anak mereka terdeteksi menyandang “kelainan” dan berbeda dengan anak-anak lainnya. Terlebih bila sabng buah hati yang dinanti-nanti adalah anak pertama, yang sangat diharapkan kehadirannya.

Setiap orangtua, wajar bila mengharap anak yang cerdas, sempurna secara fisik, mental, dan lainnya, sekaligus mengharap sang anak kelak menjadi anak yang penuh prestasi di dalam kehidupannya kelak. Setiap orangtua akan melakukan apa saja yang terbaik untuk si anak. Paling tidak, yang dianggap baik. Pendidikan yang terbaik , Apa pun keadaannya. Setiap orangtua memiliki kemampuan yang berbeda-beda.

Karena itu, selalu ada pilihan-pilihan yang tersedia. Semua memiliki satu tujuan yang sama yakni demi kebaikan dan masa depan buah hatinya.

“Untuk pendidikan anak, biar kehidupan mereka lebih baik dari orangtuanya,” demikian jawaban yang biasa terlontar dari orangtua.
Para orangtua – tanpa sadar - meyakini setiap anak mempunyai potensi dan bisa untuk tumbuh dan berkembang dengan kelebihan masing-masing anak. Orangtua harus yakin bahwa anak-anaknya akan mampu menjadi representasi dari keberadaan mereka kelak. Karena itulah, rela melakukan apa saja demi sang buah hati tercinta.
Keadaan menjadi berbeda manakala sang anak yang dinanti, lahir “berbeda” tidak seperti yang diharapkan. Mereka dikaruniai anak dengan menyandang celebral palsy, down syndrome, atau kelainan-kelainan yang lain. Orangtua mana yang tidak mengalami shock, menyaksikan buah hati yang demikian. Dunia rasanya telah kiamat. Segala harapan yang indah sirna. Keceriaan berubah menjadi duka. Dunia, sangat kejam dan tidak adil. Kehidupan terasa berhenti.
Tidak Bisa Dirubah
“Masa lalu tidak bisa dirubah!” kata Dyah Puspita, MSi, Psi, mengakhiri cerita kisah pengalaman hidupnya yang telah dijalaninya selama delapan belas tahun bersama putra tunggalnya yang menyandang autisme.
“Saya tak pernah menoleh ke belakang,” tambah mbak Ita, demikian panggilan akrabnya.
Biasanya, masih menurut psikolog yang mendirikan sekolah Mandiga, sekolah khusus untuk anak-anak autisme di bilangan Kebayoran Baru Jakarta Selatan itu, masa lalu selalu berujung pada kekecewaan.
Barangkali para orangtua anak-anak spesial ini juga melakukan hal yang sama. Mereka akan mengingat-ingat masa lalu, kenapa anaknya menjadi “berbeda.” Apakah melakukan kesalahan saat masa kehamilan. Ironis, sebagian orangtua anak spesial mengaku telah melakukan penjagaan yang tepat di masa kehamilannya. Tak ada yang salah. Kalau sudah begitu, siapa yang salah?
Menoleh ke masa lalu untuk mengambil pelajaran adalah hal yang wajar, apalagi menjadikannya sebagai pengalaman yang berharga. Namun, kemudian hanya meratapi dan menyesali, tentu tidak membuahkan solusi. Sebaliknya, orangtua harus segera beranjak dan memikirkan langkah ke depan terbaik demi sang buah hati. Tak ada manfaatnya terus menerus eratapinya.
“Bunda, aku juga tidak ingin dilahirkan dengan keadaan begini,” demikian kata sang buah hati bila mampu mengatakan. Terasa tak adil, bila orangtua masih menambah beban pada mereka.
Prestasi
Memang, anak berkebutuhan khusus (ABK) selalu lemah dan tergantung. Namun, tak berarti harus selalu berada di belakang anak-anak “normal” lain. Banyak fakta membuktikan bahwa beberapa ABK berhasil menorehkan prestasi luar biasa, bahkan di luar jangkauan masyarakat umum.
Anak berkebutuhan khusus, memang berbeda. Mereka memang memiliki “kekurangan”. Namun, tak berarti harus menjadi anak yang tak memiliki masa depan, dan dijauhkan dari pergaulan.
“Anak berkebutuhan khusus, selain memiliki beberapa kekurangan, biasanya mempunyai keunggulan atau sesuatu yang menonjol pada satu atau beberapa aspek tertentu,” ujar Dra. Suhati Kurniawati, psikolog dari LPTUI (Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia).
“Mereka yang mampu memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya dengan baik, bisa dipastikan akan mampu meraih prestasi gemilang!” tambahnya.
Prestasi anak berkebutuhan khusus, beda dengan anak lainnya, karena keduanya memanga beda. Menyamakannya sungguh tidak bijaksana. Anak-anak “normal,” tidak memiliki hambatan atau gangguan dalam tumbuh kembang anak. Pada ABK, hambatan itu ada pada aspek tertentu yang mengganggunya. Kemampuan belajarnya juga sangat berbeda. Ada perbedaan yang signifikan antara keduanya. Anak “normal” mudah mengatur memori dan konsentrasinya dibanding anak disleksia misalnya. Kemampuan anak CP dalam mengoperasikan komputer atau menulis sebuah buku menjadi luar biasa Prestasi ABK harus dipandang sebagai aktualisasi potensi sebagai anak yang mempunyai hambatan. Dan, harus dipandang sebagai suatu keberhasilan dalam usaha untuk menjadi sebuah prestasi.
Penyesuaian diri mereka (ABK) dengan lingkungan di sekitar mereka menjadi sangat penting. Hal ini bisa dimulai dengan kemampuan self help mereka. Artinya, ketika mereka berhasil, mereka sudah berprestasi. Selanjutnya,, bila mereka mampu mengembangkan, itulah prestasi. Dan, semua itu bukanlah sesuatu yang mustahil dilakukan sang anak bersama orangtuanya.
Menyongsong Prestasi
Kepekaan orang tua dalam memperhatikan setiap perkembangan sang anak sangat penting. Orang tua harus sedini mungkin mendeteksi dan peduli dengan segala macam gejala baik yang positif maupun negative. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berkonsultasi dengan para profesional atau mengujinya dengan teori-teori perkembangan anak. Dengan deteksi sejak dini, maka penanganan atau intervensi bisa menjauhkan dari resiko-resiko berat yang bisa diakibatkan oleh hambatan yang dimilikinya atau paling tidak meminimalisasi.
Peran orangtua menjadi sangat penting. Semua tak ada artinya bila orang tua dan keluarga tidak siap menerima keadaan sang anak. Hal ini penting, karena intervensi tidak akan bisa dilakukan bila orang-orang di sekitarnya itu belum siap dan menerima dengan tulus keberadaan sang anak. Kenyataannya, penerimaan yang tulus disertai cinta kasih yang dalam memegang peranan yang penting dalam kemajuan seorang di kemudian hari. Kasih sayang orangtua akan membawa anak menemukan potensi-potensi yang terpendam di balik kekurangannya.
“Kasih sayang serta penerimaan yang tulus dari orangtua adalah terapi yang luar biasa bagi anak-anak berkesulitan khusus,” ujar Adriana S. Ginanjar, psikolog dan pendiri Sekolah Mandiga, Jakarta.
“Sayangnya, masih banyak orangtua yang belum mamahami hal tersebut!” tambahnya.
Cinta kasih harus selalu terjaga, orangtua perlu memahami segala keterbatasan sang anak dan mencari hal-hal positifnya. Karena itu, berikan kesempatan sebanyak mungkin pada anak untuk beraktifitas. Berikan pula waktu untuk menilai diri sendiri, meningkatkan bakat dan minat agar mereka bisa mandiri dan tidak selalu tergantung pada orang lain.
Celah-celah positif yang ada pada diri anak harus digali seoptimal mungkin, dengan demikian orangtua bisa menetapkan target-target yang sesuai dengan kondisi sang anak. Tentunya, tidak harus tertumpu pada masalah akademis, karena tidak semua ABK bisa mengikuti tuntutan kurikulum yang abstrak. Bahkan, pada titik tertentu, bila dipaksakan potensinya akan terganggu. Pada tahap seperti ini, anak akan menjadi stres dan beradampak buruk pada perkembangan selanjutnya.
Karena itu, masih menurut Dra. Suhati Kurniawati, anak harus bahagia dan tidak boleh stres dalam usaha pencapaian prestasinya. “Apa lagi, bila tekanan stresnya datang daeri orang-orang terdekatnya, orangtua, guru atau saudara-saudaranya,” tambahnya.
Perlu dicatat, perlakuan khusus – berlebihan - pada mereka juga tak bisa dibenarkan. Sebaiknya anak berkebutuhan khusus diperlakukan senormal mungkin (seperti anak-anak yang lain). Anak tidak boleh tergantung pada siapa pun, walau terhadap orangtuanya sekalipun. Dengan begitul, anak akan lebih siap menghadapi kehidupan biasa. “Berikan kesempatan untuk menentukan pilihan pada anak-anak untuk mandiri,” tutur Dra. Suhati. “Tentunya, dengan pendampingan seperlunya” tambahnya.
Perlu pemikiran-pemikiran positif dari orangtua dan keluarga yang lain untuk setiap langkah yang dilakukan untuk sang anak. Mereka perlu dukungan dan penghargaan. Bahkan pada kasus tertentu, orangtua harus mampu “melawan” setiap perasaan pesimis atau “ulah” orang lain yang bisa mengganggu keberhasilan.
Beberapa orangtua ABK telah membuktikan bahwa dengan memberi kasih sayang, perhatian serta upaya tak kenal lelah, berhasil membawa buah hatinya ke jenjang sukses. Lihat saja, apa yang dilakukan ibunda Thomas Alva Edison (penemu bola lampu pijar) melawan stigma negatif yang diberikan guru anak tercintanya. Dengan sabar, tanpa pernah bosan mengajar anaknya setelah anaknya selalu diusir beberapa sekolah karena dianggap bodoh.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Jeffrey Dompas, ayah Oscar Yura Dompas. Tak henti-hentinya memberikan motivasi kepada Oscar Yura Dompas, anaknya yang terdeteksi sebagai anak autisme untuk terus bangkit dan tidak mengalah pada takdir. Bahkan ibundanya, Ira Dompas harus menangkal pandangan “miring” lingkungan sekitarnya.
“Anak ibu gila,” ujarnya menirukan olok-olok para tetangganya waktu itu. Hal ini harus dihadapi Ira dengan kesabaran super, harus seringkali menjelaskan kondisi Oscar. Dan, kerja kerasnya membuahkan hasil, Oscar menjadi berkembang, mampu bersosialisasi dengan lingkungannya. Bahkan, Oscar mampu menamatkan kuliahnya di Fakultas Sasta Inggris Universitas Atmajaya, Jakarta. Dua buku kisah hidupnya pun telah diterbitkan, salah satunya dalam bahasa Inggris. Kini, Oscar mampu mandiri dengan profesi sebagai pekerja seni.
Jelas, orangtua tak bisa sendirian dalam mengantarkan anak ABK untuk bisa mandiri. Peran orang lain yakni pendidik, pelatih, terapis, atau siapa saja yang berada di lingkungannya, karena sebagian waktu anak-anak memang selalu bersama mereka. Para pendidik, selain harus memiliki kesabaran sebaiknya mampu berperan pula sebagai orangtua. Diperlukan pula kejelian dalam melihat talenta sang anak. Dengan demikian, bakat dan minat anak akan lebih mudah diarahkan. Sehingga pada gilirannya nanti bisa membuahkan prestasi.
“Seorang guru yang baik, harus jeli melihat bakat anak didiknya,” ujar Drs. Ciptono, Kepala Sekolah Luar Biasa Negeri, Semarang. “Hal itu bisa dimulai sejak pembuatan Program Pendidikan Individual (PPI),” tambah guru yang berhasil mengangkat anak didiknya memecahkan tujuh rekor MURI. “ABK bukanlah puntung-puntung rokok di timbunan sampah!”
Yang Spesial Yang Berprestasi
Habibie Afsyah
Sejak balita sudah harus menggunakan kursi roda. Habibie Afsyah (20) terdeteksi menyandang motoric neuron, atau kerusakan permanen pada otak kecilnya. Perkembangan fisiknya tidak sempurna sejak usia satu tahun shingga hingga usianya kini bahkan barangkali seumur hidupnya bergantung dengan kursi roda.
Ibunya, tidak pernah menganggap Habibie sebagai anak special. Karena itu, Habibie dimasukkan ke sekolah formal reguler. Ibunda tercintanya selalu berpikir keras bagaimana membekali buah batinya untuk bisa mandiri baik mental maupun finansial di kemudian hari.
Dari kegemaran Habibie bermain video game, komputer dan internet, sang bunda kemudian bersama putranya melanglang dari seminar ke seminar untuk mencari pengetahuan tentang internet marketing.
Awalnya, Habibie kesulitan dalam bahasa Inggris dan penegtahuan yang diberikan. Tapi, dengan tak kenal lelah Habibie menjadi terbiasa dan bisa. Perjuangannya tak sia-sia. Kini, ibunda tercinta berhasil mengantarkan Habibie pada profesi internet marketer yang berpenghasilan puluhan juta rupiah bahkan menjadi motivator di berbagai seminar. “Saya harus membuat Habibie mandiri untuk hidupnya kelak,” ujar Endang, ibunda Habibie. “Hidupnya tak boleh menjadi beban orang lain!” tambahnya
Cek senilai $120 dari Amazon.com merupakan hasil yang diperoleh pertama kalinya. Selanjutnya, mengumpulkan Refferal Fee USD 5986 dalam negeri. Dalam bisnis ini penghasilan Habibie perbulan 5 sampai 10 juta rupiah, bahkan sangat mungkin lebih. Belum lagi penghasilannya dari seminar-seminar di berbagai tempat.
Tidak hanya itu, Habibie kemudian mendirikan Yayasan Habibie Afsyah yang bertujuan untuk memotivasi anak-anak sepertinya bisa menjadi manusia-manusia mandiri.
Habibie sendiri menganggap kekurangannya adalah anugerah. Ia telah berhasil menyibak tabir pandangan miring masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Ia juga membuktikan, anak-anak seperti dirinya bisa mandiri dan mampu melakukan apa yang dilakukan orang lain.
“Saya bangga pada mama saya.” Ujarnya ketika ditanya tentang orang yang paling berjasa dalam hidupnya. “Mama adalah pejuang sejati sekaligus pahlawan tanpa tanda jasa, tanpa pamrih,” tambahnya. “Tugasnya tidak ringan, mengelola rumahtangga dengan tujuh anak tiri dan satu anak seperti saya.” “Saya juga tak akan pernah melupakan ayah dan para guru dalam pembentukan kepribadian diri saya sehingga menjadi seperti sekarang,” tutur Habibie dengan percaya diri.
”Jangan pernah minder dengan kelemahan yang ada dalam diri kita,” ujarnya berulang-ulang pada setiap seminar Menurutnya, hidup ini harus tetap dijalani, tidak boleh meratapi dan menyesali. “Nikmatilah hidup dengan berbuat dan menggali potensi yang ada dalam diri kita, berfikir positif sehingga segala duka akan lenyap berganti dengan suka dan bersemangat!”
Habibie berharap pada setiap orangtua, untuk selalu menjadi super mom. Berjuang secara total dalam membimbing dengan kasih sayang. Orangtua ABK tidak perlu malu dengan keterbatasan yang ada. Berikan limpahan kasih sayang, perhatian, dan pendidikan yang memadai. Habibie juga berharap pada seluruh instansi pemerintah dan semua kalangan hendaknya memberi kesempatan dan dukungan pada anak-anak berkebutuhan khusus untuk mengembangkan potensi dan apresiasi atas prestasi yang diraihnya
Apriani Wahyuningsih

Apriani Wahyuningsih

Apriani Wahyuningsih, remaja putri kelahiran Karang Anyar, Jawa Tengan 12 April 1989 ini didiagnosa menyandang CP, cerebral palsy sejak dalam kandungan ibunda tercintanya. Hal ini karena sang bunda “terpaksa” mengkonsumsi suatu jenis obat agar bisa bertahan hidup selama mengandung buah hatinya. Ketika terlahir gejala-gejala CP pun muncul secara perlahan. Tiga tahun setelah melahirkan, ibunda tercintanya meninggal dunia.
Kemudian, ia hidup bersama ayah dan kakak-kakaknya. Hidup dengan segala keterbatasan di pelosok, jauh dari segala informasi. Selain itu, Apri, demikian orang sering memanggilnya, sering di perlakukan tidak menyenangkan oleh kakak-kakaknya. Kondisi demikian tentu saja membuat dirinya down atau kecil hati.
Pernah suatu saat, di tengah mengikuti pelajaran di sekolah Apri digendong, dibawa pulang oleh kakaknya. Karena sang kakak khawatir atau meragukan kemampuan Apri mengikuti pelajaran yang sedang diberikan. “Saya kecewa, namun memaklumi,” kata Apri. “Kakakku melakukan itu karena khawatir!” Hal itu membuat dirinya tinggal kelas di kelas 3 SD. Beruntung, ada seorang guru yang selalu memotivasi Apri agar jangan putus asa. Keluarganya kemudian memasukkan Apri ke YPAC Surakarta. Selanjutnya, Apri menjalani pendidikan jenjang SD, SMP, dan SMU dengan baik.
“Ke mana saja saya selalu ditemani kursi roda,” kata gadis yang selalu optimis itu. Memang, sehari-harinya harus menggunakan kursi roda. Syaraf motoriknya tak berfungsi karena adanya kerusakan dalam otaknya, sehingga kakinya sama sekali tak berfungsi. Kakinya melipat pada lututnya dan layuh, kadang-kadang mengalami spastistik (kaku). Akibatnya, ia tidak mampu berdiri apa lagi berjalan. Demikian pula kedua tangannya, Walau tak seberat kedua kakinya Dengan kondisi tangan seperti itu, ia masih bisa melakukan segala aktivitas kehidupannya, walaupun tak sempurna. Walau sulit dan memerlukan waktu, Apri mampu melakukan segala aktivitas sehari-harinya seperti makan dan minum, bahkan untuk mencuci piring atau pakaian sekalipun. Kemandiriannya ini telah sejak ia tinggal di asrama – sejak kelas satu SMA.
Kondisi yang berat itu, tidak membuatnya menyerah. Luar biasa. Apri mampu meraih juara umum MIPA tingkat nasional 2008 mewakili sekolahnya, SMA Muhammadyah 6 Surakarta. Ia berkesempatan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang memberinya apresiasi atas prestasinya. Tidak itu saja, Apri juga banyak meraih beberapa prestasi lainnya, seperti juara puisi tingkat provinsi dan prestasi akademik di sekolah.
Apri adalah sosok anak “gaul” lancar bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Komunikatif, bahkan sedikit cerewet, suka bercanda dan ramah. Akrab dengan guru-gurunya, tidak pernah rendah diri. Apalagi dengan fisik yang tidak sempura ia mampu berprestasi, hal inilah yang semakin membuat dirinya semakin percaya diri.
Menurut Apri, kekuatan cinta dari orang-orang di sekitar membuat dirinya selalu tegar. “Saya bersyukur karena keluarga, guru dan teman-teman saya selalu mendukung saya,” tuturnya. “Semua yang telah saya capai adalah berkat jasa guru-guru, saudara-saudara dan semua orang yang selalu memotivasi saya,” tambah remaja penyuka kucing itu. Apa lagi, kini Apri telah memiliki tambatan hati yang senantiasa memberikan dorongan sejak di bangku SMP. “Dia adalah pelita hidupku,” ujarnya malu-malu. Kini, Apri tinggal di asrama sekolah, hidup mandiri. Bahkan di sela-sela kesibukannya Apri masih sempat mengajar di TKA-TPA At-Taubah.
Ada pengalaman menarik, ketika pertama kali memperkenalkan diri kepada siswa-siswi TPA. “Wah, ustadzah kita kaya suster ngesot,” kata salah seorang anak. Apri hanya tersenyum mendengar keluguan anak-anak didiknya. “Ibu capek kalau berdiri, makanya ibu pakai kursi roda dan ngesot” katanya dengan santai. Ia terpaksa berbohong dengan keadaan sebenarnya kepada anak-anak didiknya karena usia mereka yang memang masih kecil. “ Saya memaklumi dan lambat laun mereka pasti akan mengerti,”
Ucapan Apri pada anak-anak didiknya merupakan sebuah prestasi luar biasa di samping prestasi-prestasi lainnya yang telah diperolehnya. Mental yang teguh telah berhasil ia miliki melalui “keterbatasan”.

sumber : http://anakspesial.blogdetik.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar